Sejarah
Kerajaan Selaparang merupakan salah satu kerajaan
tertua yang pernah tumbuh dan berkembang di pulau Lombok, bahkan
disebut-sebut sebagai embrio yang kemudian melahirkan raja-raja Lombok
masa lalu. Terbukti penamaan pulau ini juga sering disebut sebagai bumi
Selaparang atau dalam istilah lokalnya sebagai Gumi Selaparang.
Asal
muasal Setidak-tidaknya ada tiga pendapat tentang asal muasal kerajaan
Selaparang (Buku Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, 2002).
Pertama,
disebutkan
bahwa kerajaan ini merupakan proses kelanjutan dari kerajaan tertua di
pulau Lombok, yaitu "Kerajaan Desa Lae" yang diperkirakan berkodudukan
di Kecamatan Sambalia, Lombok Timur sekarang. Dalam perkembangannya
masyarakat kerjaan ini berpindah dan membangun sebuah kerajaan baru,
yaitu kerajaan Pamatan di Kecamatan Aikmel dan diduga berada di Desa
Sembalun Sekarang.
Dan ketika Gunung Rinjani meletus, penduduk
kerajaan ini terpencar-pencar yang menandai berakhirnya kerajaan. Betara
Indra kemudian mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Suwung, yang
terletak di sebelah utara Perigi sekarang.Setelah berakhirnya kerajaan
yang disebut terakhir, barulah kemudian muncul Kerajaan Lombok atau
Kerajaan Selaparang.
Kedua,
disebutkan bahwa setelah
Kerajaan Lombok dihancurkan oleh tentara Majapahit, Raden Maspahit
melarikan diri ke dalam hutan dan sekembalinya tentara itu Raden
Maspahit membangun kerajaan yang baru bernama Batu Parang yang kemudian
dikenal dengan nama Kerajaan Selaparang.
Ketiga,
disebutkan
bahwa pada abad XII, terdapat satu kerajaan yang dikenal dengan nama
kerajaan Perigi yang dibangun oleh sekelompok transmigran dari Jawa di
bawah pimpinan Prabu Inopati dan sejak waktu itu pulau Lombok dikenal
dengan sebutan Pulau Perigi. Ketika kerajaan Majapahit mengirimkan
ekspedisinya ke Pulau Bali pada tahun 1443 yang diteruskan ke Pulau
Lombok dan Dompu pada tahun 1357 dibawah pemerintahan Mpu Nala,
ekspedisi ini menaklukkan Selaparang (Perigi?) dan Dompu.
Bahasa
nampi
Dengan mengacu kepada ahli sejarah berkebangsaan Belanda, L. C. Van den
Berg yang menyatakan bahwa, berkembangnya Bahasa Kawi sangat
mempengaruhi terbentuknya alam pikiran agraris dan besarnya peranan kaum
intelektual dalam rekayasa sosial politik di Nusantara.
Fathurrahman
Zakaria (1998) menyebutkan bahwa para intelektual masyarakat Selaparang
dan Pejanggik sangat mengetahui Bahasa Kawi. Bahkan kemudian dapat
menciptakan sendiri aksara Sasak yang disebut sebagai jejawen. Dengan
modal Bahasa Kawi yang dikuasainya, aksara Sasak dan Bahasa Sasak, maka
para pujangganya banyak mengarang, menggubah, mengadaptasi, atau
menyalin manusia Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak.
Lontar-lontar
dimaksud, antara lain Kotamgama, lapel Adam, Menak Berji, Rengganis,
dan lain-lain. Bahkan para pujangga juga banyak menyalin dan
mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para walisongo, seperti lontar-lontar
yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan Lontar Nurcahya. Bahkan
hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang disalin dan diadaptasi, seperti
Lontar Yusuf, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sidik Anak Yatim, dan
sebagainya.
Dengan mengkaji lontar-lontar tersebut, menurut
Fathurrahman Zakaria (1998) kita akan mengetahui prinsip-prinsip dasar
yang menjadi pedoman dalam rekayasa sosial politik dan sosial budaya
kerajaan dan masyarakatnya.
Dalam bidang sosial politik misalnya,
Lontar Kotamgama lembar 6 lembar menggariskan sifat dan sikap seorang
raja atau pemimpin, yakni Danta, Danti, Kusuma, dan Warsa. Danta artinya
gading gajah; apabila dikeluarkan tidak mungkin dimasukkan lagi. Danti
artinya ludah; apabila sudah dilontarkan ke tanah tidak mungkin dijilat
lagi. Kusuma artinya kembang; tidak mungkin kembang itu mekar dua kali.
Warsa artinya hujan; apabila telah jatuh ke bumi tidak mungkin naik
kembali menjadi awan. Itulah sebabnya seorang raja atau pemimpin
hendaknya tidak salah dalam perkataan.
Selain itu, dalam
lontar-lontar yang ada diketahui bahwa istilah-istilah dan ungkapan yang
syarat dengan ide dan makna telah dipergunakan dalam bidang politik dan
hukum, misalnya kata hanut (menggunakan hak dan kewajiban), tapak
(stabil), tindih (bertata krama), rit (tertib), jati (utama),tuhu
(sungguh-sungguh), bakti (bakti, setia), atau terpi (teratur).
Dalam
bidang ekonomi, seperti itiq (hemat), loma (dermawan), kencak
(terampil), atau genem (rajin). Pariwisata Lombok dalam banyak hal mirip
dengan Bali, dan pada dasawarsa tahun 1990-an mulai dikenal wisatawan
mancanegara. Namun dengan munculnya krismon dan krisis-krisis lainnya,
potensi pariwisata agak terlantarkan.
Lalu pada awal tahun 2000
terjadi kerusuhan antar-etnis dan antar agama di seluruh Lombok sehingga
terjadi pengungsian besar-besaran kaum minoritas. Mereka terutama
mengungsi ke pulau Bali.
Sumber : http://kantorpde.blogspot.com